Namamu, Ami

Di antara senyap yang tak pernah sempat menjadi kata, dan cinta yang tak pernah berani menyebut dirinya sendiri, terselip sebuah kisah yang tak pernah rampung, tapi justru karena itu ia abadi: Namamu: Ami. Ini bukan cerita tentang bagaimana dua manusia saling memiliki, melainkan tentang bagaimana kehadiran yang tak pernah mengikat justru tinggal paling lama dalam ruang batin seseorang. Ia adalah cerita yang berjalan tanpa suara, seperti bayangan yang melintasi dinding jiwa, menelusuri jalan waktu tanpa lampu, tapi penuh makna. Bukan kisah yang dibangun dari dialog dan janji, melainkan dari jeda-jeda panjang yang menyimpan lebih banyak kejujuran dibandingkan kata-kata. Dalam setiap halamannya, pembaca akan menjumpai gema dari cinta yang memilih diam, dari perasaan yang tumbuh seperti cahaya fajar—pelan, nyaris tak terasa, namun perlahan mengisi seluruh ruang. Namamu: Ami adalah alam semesta kecil yang dibangun dari pengumpulan yang tak pernah benar-benar bertemu, dari langkah-langkah yang mencapai tapi seirama, dari keberanian mencintai tanpa mengikat dan tanpa menuntut memahami. Ia bukan kisah yang menuntut akhir, karena sejak awal ia memang tak berniat dimulai. Ia hanya ingin dihayati—dengan sabar, dengan lembut, dan dengan batin yang rela mencintai meski tak pernah berpisah. Seperti puisi yang tak perlu rima, seperti doa yang tak pernah dikeraskan suaranya, tapi tetap sampai ke langit. Namamu: Ami adalah peristiwa yang hidup bukan di permukaan, tapi di kedalaman; bukan di keramaian bab dan plot, tapi dalam hening antara baris-baris. Sebuah kisah yang mengajarkan kita, bahwa cinta paling setia sering kali adalah yang paling diam.